Doi Tung merupakan bekas kawasan pemasok opium terbesar dunia. Sekitar 75 persen kebutuhan opium dunia disuplai dari wilayah yang berbatasan langsung dengan Myanmar ini.
Dua orang bekas petani poppy, sebutan opium, bercerita bagaimana kerasnya kehidupan di dataran tinggi itu, dari mulai mengikuti jejak penduduk terdahulu menanam bunga cantik nan mematikan hingga melacurkan anaknya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Dua petani itu adalah Atu (58) dan Cham Nam (63). Atu berasal dari suku Akha yang tinggal di lereng pegunungan Doi Tung. dia merupakan penghisap dan penanam poppy sebelum development project masuk ke wilayah yang berada di Provinsi Chiang Rai ini.
Atu mulai menanam opium sejak usia 14 tahun karena merupakan mata pencaharian turun temurun yang dilakukan orangtuanya, dan tidak ada alternatif pekerjaan lain yang mampu dia kerjakan. Di usia itu pula dia mulai menghisap opium sampai dengan development program menyelamatkan hidupnya tahun 1988.
Sementara Cham Nam mengaku hanya sebagai penghisap candu, meski demikian pria berambut putih ini fasih bercerita mengenai kondisi Doi Tung saat itu, dan sesekali dia ikut menanam dan memanen opium di Doi Tung.
“Kalau tidak menanam (opium) maka tidak akan dapat uang,” kata Cham Nam.
Dari mulut kedua penduduk inilah tabir gelap Doi Tung mengemuka. Menurut mereka, bagi penduduk menanam poppy merupakan jalan terakhir untuk mempertahankan kehidupan di dataran tinggi. Kondisi lereng tempat ribuan warga tinggal tidaklah cukup subur. Tidak ada air dan berkontur bebatuan, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, serta kesehatan masyarakat yang rendah pula.
“Dulu sangat sulit karena desa kami jauh dari kota, kami pun sulit untuk mecari pekerjaan, hidup di ketinggian dengan fasilitas yang tidak ada,” tutur Cham Nam, dalam sebuah perbincangan di sebuah kafe kecil di Doi Tung, Selasa (15/2/2012), ditemani seorang penerjemah asal Thailand.
Keadaan diperparah dengan kondisi masyarakat yang terkena candu. “Ada 572 ribu warga yang menghisap candu,” tutut Cham Nam. Bagi Cham Nam tidak mungkin untuk menghindari berkenalan dengan poppy. Sebab, katanya, seluruh penduduk baik itu perempuan dan laki-laki bergantung secara ekonomi dan candu terhadap opium siang-malam.
Walau penduduk mengandalkan ekonomi mereka kepada perdagangan opium di bawah perlindungan Jenderal Khun Sa, tetap saja komoditas tersebut tidak mampu menutupi kebutuhan hidup setiap penduduk.
“Ada yang menjual anaknya untuk menutupi kebutuhan hidup karena penduduk sudah pasrah,” kata Atu yang duduk di samping Cham Nam.
Hal ini pun diakui oleh manajer program senior Mae Fah Luang Foundation (MFLF), Ramrada Ninnad. Saking keras dan terbelakangnya masyarakat karena faktor ekonomi dan infrastruktur yang tidak menyentuh desa tersebut, beberapa warga nekat untuk memilih jalan pintas.
“Saking miskinnya mereka menjual anaknya untuk jadi pelacur,” kata Earth, sapaan akrab Ramrada, dalam sebuah presentasi.
Sedikit hubungan antara Jenderal Khun Sa dan penduduk di Doi Tung. Khunsa merupakan seorang Jenderal dan panglima perang Burma yang memiliki pasukan sendiri untuk memerangi komunis di Myanmar. Khun Sa juga mengatur jalur peredaran dan distribusi opium dari segitiga emas ke dunia.
Saban hari, Khun Sa rajin mengontrol tanaman opium yang ditanam oleh warga dengan menyangkong senjata dan berkuda menyusuri ratusan hektare ladang yang terbentang.
Khun Sa dikenal ramah kepada warga Doi Tung. Tidak ada tekanan dari Jenderal yang nerasal dari Shan City, Birma, terhadap warga untuk menanam opium. Bila panen poppy tiba warga akan menjualnya kepada Khunsa untuk selanjutnya dijual untuk membiayai pasukan yang dibentuk sang jenderal berdarah Cina-Thai. Ya, hanya kepada sang jenderal penduduk berharap bisa mendapatkan uang dan menyambung kehidupan.
“Tapi uang tidak pernah cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Atu.
Atu dan Cham Nam bersukur diselamatkan dari masa suram yang pernah mereka lalui. Cham Nam misalnya, mengaku pendapatan ekonomi keluarganya meningkat sejak program Development Project yang dimotori Mae Fah Luang Foundation (MFLF) masuk ke Doi Tung.
Saat ini, kata Cham Nam, income per kapita yang diperolehnya dalam satu tahun mencapai 30 ribu Baht. Jauh ketika massa-massa awal ketika opium menjadi cantelan pencaharian dia dan keluarganya.
Bagi Atu, sejak dirinya terlepas dari candu yang mematikan itu dirinya mulai bisa berbenah diri. “Sekarang makin enerjik untuk bekerja,” seraya tertawa dan memperlihatkan gigi hitamnya efek dari mengunyah sirih.
Atu, Cham Nam beserta ribuan penduduk lainnya kini bekerja membangun desanya sendiri dari gelap menjadi terang benderang. “Tercatat 1.700 staf di Mae Fah Luang Foundation yang terdiri dari warga sekitar,” kata Earth.
Dua orang bekas petani poppy, sebutan opium, bercerita bagaimana kerasnya kehidupan di dataran tinggi itu, dari mulai mengikuti jejak penduduk terdahulu menanam bunga cantik nan mematikan hingga melacurkan anaknya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Dua petani itu adalah Atu (58) dan Cham Nam (63). Atu berasal dari suku Akha yang tinggal di lereng pegunungan Doi Tung. dia merupakan penghisap dan penanam poppy sebelum development project masuk ke wilayah yang berada di Provinsi Chiang Rai ini.
Atu mulai menanam opium sejak usia 14 tahun karena merupakan mata pencaharian turun temurun yang dilakukan orangtuanya, dan tidak ada alternatif pekerjaan lain yang mampu dia kerjakan. Di usia itu pula dia mulai menghisap opium sampai dengan development program menyelamatkan hidupnya tahun 1988.
Sementara Cham Nam mengaku hanya sebagai penghisap candu, meski demikian pria berambut putih ini fasih bercerita mengenai kondisi Doi Tung saat itu, dan sesekali dia ikut menanam dan memanen opium di Doi Tung.
“Kalau tidak menanam (opium) maka tidak akan dapat uang,” kata Cham Nam.
Dari mulut kedua penduduk inilah tabir gelap Doi Tung mengemuka. Menurut mereka, bagi penduduk menanam poppy merupakan jalan terakhir untuk mempertahankan kehidupan di dataran tinggi. Kondisi lereng tempat ribuan warga tinggal tidaklah cukup subur. Tidak ada air dan berkontur bebatuan, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, serta kesehatan masyarakat yang rendah pula.
“Dulu sangat sulit karena desa kami jauh dari kota, kami pun sulit untuk mecari pekerjaan, hidup di ketinggian dengan fasilitas yang tidak ada,” tutur Cham Nam, dalam sebuah perbincangan di sebuah kafe kecil di Doi Tung, Selasa (15/2/2012), ditemani seorang penerjemah asal Thailand.
Keadaan diperparah dengan kondisi masyarakat yang terkena candu. “Ada 572 ribu warga yang menghisap candu,” tutut Cham Nam. Bagi Cham Nam tidak mungkin untuk menghindari berkenalan dengan poppy. Sebab, katanya, seluruh penduduk baik itu perempuan dan laki-laki bergantung secara ekonomi dan candu terhadap opium siang-malam.
Walau penduduk mengandalkan ekonomi mereka kepada perdagangan opium di bawah perlindungan Jenderal Khun Sa, tetap saja komoditas tersebut tidak mampu menutupi kebutuhan hidup setiap penduduk.
“Ada yang menjual anaknya untuk menutupi kebutuhan hidup karena penduduk sudah pasrah,” kata Atu yang duduk di samping Cham Nam.
Hal ini pun diakui oleh manajer program senior Mae Fah Luang Foundation (MFLF), Ramrada Ninnad. Saking keras dan terbelakangnya masyarakat karena faktor ekonomi dan infrastruktur yang tidak menyentuh desa tersebut, beberapa warga nekat untuk memilih jalan pintas.
“Saking miskinnya mereka menjual anaknya untuk jadi pelacur,” kata Earth, sapaan akrab Ramrada, dalam sebuah presentasi.
Sedikit hubungan antara Jenderal Khun Sa dan penduduk di Doi Tung. Khunsa merupakan seorang Jenderal dan panglima perang Burma yang memiliki pasukan sendiri untuk memerangi komunis di Myanmar. Khun Sa juga mengatur jalur peredaran dan distribusi opium dari segitiga emas ke dunia.
Saban hari, Khun Sa rajin mengontrol tanaman opium yang ditanam oleh warga dengan menyangkong senjata dan berkuda menyusuri ratusan hektare ladang yang terbentang.
Khun Sa dikenal ramah kepada warga Doi Tung. Tidak ada tekanan dari Jenderal yang nerasal dari Shan City, Birma, terhadap warga untuk menanam opium. Bila panen poppy tiba warga akan menjualnya kepada Khunsa untuk selanjutnya dijual untuk membiayai pasukan yang dibentuk sang jenderal berdarah Cina-Thai. Ya, hanya kepada sang jenderal penduduk berharap bisa mendapatkan uang dan menyambung kehidupan.
“Tapi uang tidak pernah cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Atu.
Atu dan Cham Nam bersukur diselamatkan dari masa suram yang pernah mereka lalui. Cham Nam misalnya, mengaku pendapatan ekonomi keluarganya meningkat sejak program Development Project yang dimotori Mae Fah Luang Foundation (MFLF) masuk ke Doi Tung.
Saat ini, kata Cham Nam, income per kapita yang diperolehnya dalam satu tahun mencapai 30 ribu Baht. Jauh ketika massa-massa awal ketika opium menjadi cantelan pencaharian dia dan keluarganya.
Bagi Atu, sejak dirinya terlepas dari candu yang mematikan itu dirinya mulai bisa berbenah diri. “Sekarang makin enerjik untuk bekerja,” seraya tertawa dan memperlihatkan gigi hitamnya efek dari mengunyah sirih.
Atu, Cham Nam beserta ribuan penduduk lainnya kini bekerja membangun desanya sendiri dari gelap menjadi terang benderang. “Tercatat 1.700 staf di Mae Fah Luang Foundation yang terdiri dari warga sekitar,” kata Earth.
0 komentar:
Posting Komentar